Minggu, 13 Juli 2014

PRESIDEN GANDA VRESI QOICK QOUNT (QC )

Klaim kemenangan berbasis quick count (QC) dari kedua kubu capres pasca pencoblosan 9 Juli lalu, untuk sementara bangsa Indonesia memiliki presiden kembar menurut versi QC. Sontak hal ini telah memuncukan kegaduhan baru di jagad politik nasional. Sebab, masing-masing kubu capres yakin pihaknya lah yang menang mengacu hasil QC dari lembaga survey yang diyakininya kredibel. Padahal di tingkat masyarakat akar rumput, dampak saling mengklaim bahwa capres-cawapresnya-lah yang menang bukan saja menimbulkan kebingungan. Tapi juga mampu memprovokasi terbentuknya ketegangan antar kubu ke titik yang paling memungkinkan disulut ke arah konflik horisontal antar masyarakat. Semua pihak sepakat, bahwa saat ini di masa penghitungan dan rekapitulasi suara real count, suasana damai harus tetap dijaga oleh segenap elemen bangsa, sambil semua bersabar menunggu pengumuman hasil akhir perhitungan suara oleh KPU pada 22 Juli nanti. Meski demikian, proses rekapitulasi suara oleh KPU memang harus tetap dikawal secara ketat lewat partisipasi masyarakat. Hal ini penting untuk menutup peluang kecurangan yang memang bisa saja terjadi di tengah sistem pemilu yang belum sempurna ini, yang masih cukup rentan untuk dimanipulasi. Sejauh ini saja di TPS-TPS yang tersebar di beberapa daerah ditemui form C1 yang diduga telah ditambah angka di depannya sehingga perolehan suara capres-cawapres tertentu menggelembung secara signifikan. Ada juga melalui teknik mengubah angka di depan dengan angka yang garis dan lekuknya mirip dengan angka sebenarnya, sehingga jumlah suara menjadi lebih besar. Belum lagi potensi penggunaan surat suara yang tak terpakai untuk dicoblos untuk menggelembungkan perolehan suara. Dan justru di sinilah pertaruhan profesionalitas, kredibilitas dan netralitas KPU dan Bawaslu. Juga netralitas pemerintah beserta aparatusnya. Jika tindakan yang muncul ternyata adalah tindakan yang keluar dari jalur profesionalitas, kredibilitas dan netralitas, maka akan ada harga yang harus dibayar teramat mahal oleh bangsa ini. Yakni, tak cuma menghancurkan proses konsolidasi demokrasi ke arah kedewasaan berpolitik segenap anak bangsa yang telah diperjuangkan selama ini. Tapi juga melahirkan potensi kekeruhan ke arah konflik horizontal yang meluas di antara sesama anak bangsa. Tentu kita tak menghendaki hal itu terjadi, bukan? Sejauh ini memang ada beberapa kemungkinan mengiringi proses penghitungan dan rekapitulasi suara ril di KPU yang dilakukan secara berjenjang. Pertama, Proses penghitungan real count dan rekapitulasi suara di KPU bisa jadi berada dalam pengawasan ketat masyarakat yang berpartisipasi aktif mengawal proses itu. Dengan begitu segala kejangggalan dan kemungkinan kecurangan bisa terdeteksi dan langsung segera dikoreksi. Kedua, bisa jadi juga operasi kecurangan, agak sulit terdeteksi. Mungkin karena metode yang digunakan terlalu "canggih" dan melibatkan "tangan-tangan yang tak terlihat. Atau jika pun terdeteksi, namun karena satu dan lain hal ternyata agak sulit untuk mengubah keadaan. Sebagaimana terjadi pada praktek kecurangan pada pileg April lalu yang sedemikian luas diungkap banyak kalangan. Bahkan sampai-sampai pileg 2014 dicap banyak pihak sebagai pileg paling brutal sepanjang sejarah Indonesia berdemokrasi. Tapi, toh tetap saja hasil pileg 2014 itu dianggap sah. Lalu, mengiringi pengumuman dan pasca pengumuman hasil resmi KPU pada 22 Juli 2014 nanti, setidaknya juga ada dua kemungkinan yang bakal terjadi. Pertama, ketika KPU mengumumkan siapa pemenang pilpres, maka siapapun pemenang yang diputuskan KPU tentu akan mengundang protes dari kubu yang kalah. Apalagi memang sebelumnya telah diprakondisikan lewat hasil quick count masing-masing kubu bahwa capresnya lah yang menang. Bisa jadi protes yang muncul itu merupakan protes spontan dan sesaat dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi. Namun seiiring itu, energi protes itu pun akan segera diarahkan ke jalur konstitusional berupa gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, menurut ketentuan, KPU bukanlah satu-satunya institusi yang memiliki hak mutlak memutuskan hasil pilpres. Bisa saja dari pengumuman keputusan pemenang pilpres oleh KPU itu akan muncul banding di Mahkamah Konstitusi (MK). Dan keputusan MK nanti, bisa saja meneguhkan keputusan KPU tentang siapa yang jadi pemenang pilpres, atau bisa juga menegasikan pemenang pilpres yang diputuskan KPU. Lalu, bila akhirnya putusan MK yang bersifat final dan mengikat tentang pemenang pipres itu sanapas dengan keputusan KPU, maka kubu yang kalah memang amat mungkin melanjutkan aksi-aski ketidakpuasanya. Namun di situlah justru ujian reputasi dan sikap kenegarawanan bagi sang capres-cawapres yang kalah beserta para pimpinan partai pengusungnya. Mereka harus tunduk pada keputusan MK. Meski bangsa kita pernah punya trauma buruk terkait banyaknya putusan MK yang bermasalah saat MK dipimpin Akil Mochtar. Capres-cawapres yang kalah beserta para pimpinan partai pengusungnya, seharusnya memang segera mengakui kekalahannya, mengucapkan selamat pada pemenang, jika perlu mendatanginya. Juga mengajak kepada para pendukungnya untuk mendukung presiden dan wakil presiden terpilih, serta menyerukan pentingnya menjaga persaudaraan, kesatuan dan persatuan bangsa. Dan jika itu yang terjadi, maka saya pikir itu akan menjadi sumbangan penting bagi etape berikutnya dalam kerangka konsolidasi menuju proses pematangan demokrasi dan kedewasaan berpolitik bangsa indonesia. Kedua, memang amat mungkin keputusan final dan mengikat dari MK akan menimbulkan ketidakpuasan yang meluas dari kubu capres-cawacawapres yang kalah. Hal itu lantaran keputusan MK itu akan dipandang kubu yang kalah sebagai penuh manipulasi dan dalam rangka memuluskan langkah kekuasaan bagi pihak yang dimenangkan. Boleh jadi itu akan menjadi sengketa pilpres yang mengundang gelombang protes yang terus meluas dan membesar, Serta menimbulan gesekan di akar rumput. Boleh jadi pula itu cikal bakal revolusi sosial tak terkendali yang mengarah pada kondisi negara dalam keadaan bahaya. Jika itu berlangsung dan semakin tak terkendali, presiden SBY tentu bisa saja menggunakan kewenangannya memperpanjang massa jabatannya untuk sementara waktu untuk mengatasi kekeruhan politik yang berlangsung , seraya mengontrol penuh situasi keamanan yang tak terkendali itu agar bergerak ke arah stalitas yang terjaga. Seiring itu pemerintah menyiapkan pemilu ulang dalam beberapa waktu ke depan. Bisa jadi juga, militer mengambil peran yang jauh lebih signifikan dalam rangka menjinakkan situasi chaotik yang meluas yang mungkin saja terjadi jika perpanjangan masa jabatan pemerintahan itu tak berjalan efektif. Tapi semuanya itu tentunya masih berupa kemungkinan yang cukup potensial. Dan, tentu banyak dari kita tak berharap kemungkinan terburuk beserta segenap konsekwensinya itu yang akan berlangsung nantinya, bukan? Demi berlanjutnya proses pematangan konsolidasi demokrasi yang terus berlangsung, demi kedewasaan berpolitik yang hendak terus diwujudkan, Dan demi sumbangsih kita atas masa depan peradaban mulia bangsa kita, tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar